ai

Pertanyaan itulah yang diam-diam membayang di balik gelaran AI Education & Innovation Festival 2025 yang sukses digelar Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Kalimalang, Jakarta Timur, Selasa (2/7). Dan dari tiga sesi utama yang disuguhkan, sesi pertama yang bertema “AI for Education” sukses bikin banyak peserta bukan cuma manggut-manggut, tapi juga ngerasa digampar pakai logika.

Soalnya, di tengah revolusi digital yang makin cepat dan nyaris tanpa rem, ternyata dunia pendidikan juga lagi rempong nyari cara supaya nggak ketinggalan. Dan salah satu jawaban yang paling sering disebut, tentu saja, Artificial Intelligence (AI)

Sesi dibuka oleh Riky Romadon, Head of Research dari Republika yang dengan tenang mengingatkan bahwa AI itu bagus, tapi jangan males mikir duluan. Dalam konteks jurnalistik dan edukasi, menurut Riky, AI jangan sampai dipakai buat “ngejar tayang” tanpa validasi. Ia menekankan pentingnya mencari sumber asli dulu, baru kemudian dibantu AI untuk menyajikan atau mengolahnya.

“AI itu alat bantu, bukan dalil utama,” begitu kira-kira pesannya. Jadi, kalau selama ini kamu udah menganggap AI sebagai guru segala tahu yang selalu benar, ya mungkin kamu perlu dikasih PR etika digital dulu.

Lalu masuklah Brilian Fairiandi, AI Visual Artist yang menjelaskan bahwa di tangan kreator, AI bisa berubah jadi kuas digital yang lebih canggih dari Photoshop CS berapapun. Tapi, ia juga jujur bilang bahwa AI cuma bisa sejago pengguna yang ngerti cara pakainya.

“AI bisa bantu kita bikin konten edukasi yang interaktif dan personal. Tapi tetap, ilmu dasarnya harus dikuasai dulu,” ucapnya sambil menegaskan bahwa AI bukan shortcut, tapi jembatan. Jembatan yang bisa jadi lintasan cepat, tapi juga bisa bawa kita ke jurang kalau asal pakai. Dan di situlah titik reflektifnya muncul ternyata di dunia yang makin canggih ini, nilai ‘belajar dasar’ masih tetap sakral.

Terakhir, giliran Verry Riyanto, Head of Technology and Information (BTI) UBSI, yang turun gunung dan buka-bukaan soal bagaimana kampus mulai merangkul AI sebagai bagian dari sistem pembelajarannya. “UBSI udah pakai AI buat bantu evaluasi perkembangan mahasiswa secara real-time,” ujarnya.

Bayangkan, nanti bisa jadi dosen udah nggak perlu bilang, “Kok kamu nilai kuisnya jeblok?” karena AI udah kasih peringatan dini, “Mahasiswa ini butuh intervensi, Pak.”

Yang menarik, Verry nggak bilang AI bakal gantiin dosen. Justru sebaliknya. AI itu kayak asisten pribadi yang rajin ngintipin data, supaya dosennya bisa lebih fokus ke hal-hal yang sifatnya manusiawi, seperti ngobrol, memberi motivasi, atau memelototi tugas yang plagiat.

Setelah sesi selesai dan ruangan agak longgar, satu kesimpulan melayang-layang di kepala peserta, “Kayaknya AI emang harus dipelajari, deh. Tapi ya jangan sampai bikin kita males mikir.”

AI memang bikin hidup lebih gampang. Tapi hidup yang terlalu gampang kadang bikin kita kehilangan rasa. Rasa penasaran, rasa ingin tahu, dan yang paling penting adalah rasa tanggung jawab.

Dan di tengah geliat kampus seperti UBSI Sebagai Kampus Digital Kreatif yang udah mulai serius menempatkan AI bukan sekadar pajangan, tapi jadi bagian dari sistem, harapan kita cuma satu, semoga manusia tetap jadi pusatnya.

Kategori:

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *