ai

Itulah kira-kira yang terjadi di AI Education & Innovation Festival 2025 garapan Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI). Seminar ini bukan sembarang seminar yang isinya cuma presentasi dan slide gelap dengan tulisan putih. Ini acara yang mempertemukan polisi siber, analis bank, dan mahasiswa yang biasa pusing mikirin bug Python, semuanya dalam satu ruangan yang sama. Temanya? “EDUvolution: Where Innovation Meets Intelligence”. Keren kan, namanya aja udah kayak startup unicorn.

Sesi ketiga dari seminar ini mengangkat topik yang bisa bikin mahasiswa IT tegang, AI for Cybersecurity. Narasumber pertama, AKBP Fian Yunus dari Direktorat Siber Polda Metro Jaya, datang bukan buat nangkep mahasiswa yang suka ngoprek wifi tetangga, tapi buat kasih wawasan betapa ngerinya ancaman dunia maya.

“Kami pakai AI buat olah data kasus kejahatan yang saling nyambung. Kita juga bisa verifikasi data orang pakai AI,” katanya. Sekilas terdengar seperti adegan di film Minority Report, tapi ini nyata dan sedang berjalan di Jakarta.

Yang menarik, Pak Polisi ini juga bilang kalau keamanan digital bukan cuma urusan pemerintah. Kampus dan perusahaan teknologi juga harus ikut turun tangan. Dan jangan salah, salah satu tantangan terbesarnya justru di generasi muda yang kadang lebih update soal filter Instagram daripada soal literasi keamanan digital.

Masuklah Bryan Soebagijo, seorang data predictive analyst dari Bank BCA. Bahasa Inggrisnya sih kedengeran ribet, tapi intinya, dialah orang di balik layar yang memastikan kamu nggak tiba-tiba kehilangan saldo karena ada orang tak dikenal yang iseng belanja pakai akunmu.

“Setiap detik ada jutaan transaksi. AI bantu kami deteksi kalau ada yang aneh,” jelasnya. Jadi kalau kamu transfer Rp1 juta ke nomor rekening tak dikenal jam 2 pagi, AI bisa langsung kasih sinyal ke sistem. Tapi tentu aja, keputusan akhir tetap di tangan manusia.

Bryan juga ngingetin bahwa teknologi bisa secanggih apapun, tapi kalau orang yang megang nggak paham tanggung jawab, ya sistem bisa bocor juga. AI cuma alat. Kalau niatnya udah ngaco, ya hasilnya bisa bahaya juga.

Yang bikin acara ini nggak sekadar ajang pamer jargon, adalah kenyataan bahwa dua pembicara dari dunia yang beda, seperti penegak hukum dan perbankan sepakat soal satu hal, bahwa AI nggak bisa jalan sendirian. Ia butuh manusia yang ngerti etika, punya integritas, dan paham bahwa teknologi bukan buat gaya-gayaan, tapi buat jaga keamanan sesama.

Para peserta, kebanyakan mahasiswa IT dan praktisi teknologi, kelihatan serius menyimak. Beberapa bahkan sampai nyatet pake tangan, bukan HP. Mungkin karena sadar bahwa topik yang dibahas ini bukan cuma soal teknologi, tapi soal masa depan yang mereka sendiri akan hadapi dan jalani.

Seminar ini mungkin sudah usai. Tapi pertanyaannya tetap, mau sampai kapan kita jadi sekadar pengguna? AI udah masuk ke polisi, bank, bahkan kampus. Masa iya, kita cuma jadi penonton?

UBSI Sebagai Kampus Digital Kreatif lewat seminar ini ngajak semua yang hadir buat mikir lebih jauh, bahwa bukan cuma soal bagaimana AI bisa bantu hidup kita, tapi juga soal bagaimana kita bisa memastikan AI dipakai buat hal yang benar. Karena teknologi sehebat apapun, tetap butuh manusia di belakangnya—yang tahu arah, punya nurani, dan tahu kapan harus berhenti.

Kategori:

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *