Acara dimulai dengan sambutan dari yang mewakili Rektor UBSI, Dr. yaitu Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UBSI, Dr. Ani Wijayanti. Yang menarik, sambutan Dr. Ani ini bukan sekadar basa-basi pembuka. Ia langsung menohok soal pentingnya pemahaman hukum dalam dunia bisnis, terutama di era digital yang segala sesuatunya bisa viral dalam hitungan menit.
“Biar nggak jadi pelaku usaha yang terjebak di aturan yang mereka sendiri nggak ngerti hukimnya,” begitu kira-kira benang merahnya yang disampaikan oleh Dr Ani.
Lalu masuklah sesi utama, pemaparan dari Dr. (c) Abiwodo, yang juga merupakan Branch Manager di Bank Negara Indonesia. Nah, ini bagian paling gurih. Bayangkan, ada kepala cabang bank datang bukan untuk nawarin KPR atau kartu kredit, tapi justru menjelaskan bagaimana dunia perbankan sedang jungkir balik menghadapi digitalisasi—dan bagaimana hukum jadi tali pengaman di tengah ketidakpastian itu.
Abiwodo bercerita soal perubahan cepat di dunia layanan keuangan, risiko-risiko hukum yang mengintai dari balik layar aplikasi, dan pentingnya integritas bisnis di tengah godaan shortcut yang makin banyak. Para peserta yang biasanya ngantuk di seminar, kali ini pada duduk tegak. Ada yang manggut-manggut, ada juga yang catatannya penuh kayak lagi UTS.
Sesi tanya jawab dibuka dan suasana makin cair. Ada yang nanya soal legal tech, ada yang nanya kenapa bank butuh waktu lama buat verifikasi rekening, ada juga yang secara halus minta tips sukses jadi manajer cabang. Jawaban Abi selalu santai tapi padat, semacam teman ngobrol yang sudah makan asam garam dunia finansial dan hukum.
Menjelang akhir acara, panitia membagikan sertifikat buat narasumber. Tapi puncak kejutan datang saat Kepala Kampus UBSI Kampus Cengkareng, Hardiyan, memperkenalkan program beasiswa UBSI. Beberapa mahasiswa langsung buka link beasiswa, siapa tahu rejeki dapat potongan UKT. Karena ya, paham hukum dan bisnis itu penting, tapi bisa kuliah tanpa mikirin biaya? Lebih penting lagi.
Seminar dari UBSI Sebagai Kampus Digital Kreatif ini mungkin cuma satu hari. Tapi kesannya bisa menempel lama, terutama buat peserta yang mulai sadar bahwa dunia kerja nanti bukan cuma soal IPK tinggi dan CV bagus, tapi soal apakah mereka bisa bertahan di tengah badai regulasi dan transformasi digital yang tak ada habisnya.
Karena jujur aja, jadi legal smart dan business strong bukan soal gaya. Tapi soal bertahan hidup. Dan kadang, bertahan hidup di era digital itu butuh lebih dari sekadar skill—tapi juga etika, nalar hukum, dan keberanian untuk bilang “nggak” ke jalan pintas.
0 Komentar