Nah, itulah yang terjadi di Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Senin, 23 Juni 2025. Kampus ini nggak cuma ngajarin cara ngitung laba dan bikin strategi promosi, tapi juga melempar mahasiswa langsung ke dunia nyata lewat “Uji Kompetensi Mahasiswa Skema Pengelolaan Riset Pasar.”
Jadi, bukan cuma belajar dari buku. Tapi dari jalanan, dari kios, dari senyum mas-mas minimarket yang sabar ditanya-tanyain soal strategi penjualan. Kegiatan ini dibuka oleh Kaprodi Manajemen, Eka Dyah Setyaningsih yang langsung nyentil mahasiswa lewat kalimat yang bikin mikir, bahwa “Riset pasar bukan cuma teori. Itu bekal hidup.”
Dan bener juga. Di era sekarang, kalau kamu mau buka usaha atau ngelamar kerja, pertanyaan pertama bukan “IPK-mu berapa?”, tapi “Kamu ngerti pasar atau nggak?”
Maka dimulailah uji kompetensi itu. Mahasiswa dibagi jadi kelompok kecil, masing-masing dikasih tugas buat ngelakuin riset pasar beneran. Ada yang terjun ke UMKM, ada yang menyasar sektor jasa, ada juga yang mendalami toko ritel pinggir jalan. Mereka harus bikin instrumen survei, observasi, wawancara, dan—ini yang paling mendebarkan—presentasi hasilnya di depan dosen penguji.
Nggak ada jawaban A, B, C. Yang ada adalah “Kenapa pelanggan milih warung A, padahal warung B lebih murah?” atau “Kenapa jasa cuci helm di sudut jalan itu rame, padahal tempatnya sempit?”
Dan di situlah letak keindahannya. Bahwa pasar itu bukan soal grafik dan rumus. Tapi tentang manusia dan kebiasaan. Tentang keputusan-keputusan kecil yang ternyata punya dampak besar.
Mahasiswa UBSI yang tadinya lebih akrab dengan spreadsheet dan file PDF, jadi belajar menyusun pertanyaan yang “nggak menghakimi tapi tetap informatif”. Belajar menghadapi responden yang jawabannya muter-muter. Belajar menahan diri buat nggak baper saat data lapangan ternyata bertolak belakang sama hipotesis.
Dan yang paling penting, mereka belajar bahwa riset itu bukan sekadar tugas kampus. Tapi cara berpikir. Cara melihat dunia dengan mata yang lebih tajam, telinga yang lebih peka, dan hati yang lebih rendah hati.
“Dunia kerja itu keras. Tapi, lebih keras kalau kita nggak ngerti apa yang sebenarnya dibutuhkan. Dan lewat kegiatan semacam ini, UBSI Sebagai Kampus Digital Kreatif kasih bekal, bahwa bukan cuma IPK dan transkrip nilai, tapi keterampilan yang bisa kamu bawa ke mana-mana, entah jadi manajer, wirausaha, atau analis pasar dadakan di grup WhatsApp keluarga,” pungkasnya.
Karena pada akhirnya, jadi sarjana bukan cuma soal lulus tepat waktu, tapi juga paham kenyataan. Dan kenyataan itu sering kali nggak bisa kita temukan di ruang kelas—tapi di warung, kios, dan tumpukan catatan hasil survei.
0 Komentar