Pertanyaan semacam itu nggak cuma dibahas di kafe hipster atau thread Twitter para pencari validasi. Tapi juga dibedah habis-habisan di sesi kedua AI Education & Innovation Festival 2025 yang digelar Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Kalimalang. Temanya “AI for Business”, dan pembicara yang datang bukan sembarangan. Ada CEO fintech, boss startup influencer, sampai ahli skor kredit digital. Lengkap sudah, dari yang ngurus utang sampai yang ngurus branding.
Achmad Syarifuddin dari Skorlife memulai sesi dengan sesuatu yang bikin mikir. Ia cerita tentang bagaimana AI dipakai buat menyusun credit scoring berbasis perilaku. Jadi, kalau kamu selama ini ngerasa hidupmu nggak tercatat di bank karena nggak punya kartu kredit atau slip gaji, AI sekarang bisa baca pola hidupmu. Seberapa rajin kamu bayar paket data, langganan Spotify, atau bahkan seberapa sering kamu naik ojek online bisa jadi indikator kelayakanmu ngutang.
“Kita bantu orang buat lebih melek kredit,” katanya. Tapi tentu aja, kalau kamu suka ngutang di warung tapi ngelak pas ditagih, AI pun mungkin ikut bingung.
Lanjut ke Alfonsus Wibowo dari Danacita. Ia datang dengan semangat membara ala pahlawan pendidikan digital. Katanya, AI di Danacita bukan cuma alat, tapi jadi “penjembatan” impian anak muda buat bisa kuliah meski dana cekak. Sistem pembiayaannya dibantu oleh AI buat memetakan risiko dan kebutuhan pengguna.
“Kalau kita bisa pakai AI buat penuhi mimpi kuliah anak Indonesia, kenapa enggak?” ucapnya penuh keyakinan. Rasanya seperti mendengar Mario Teguh versi startup, motivasional tapi data-driven.
Terakhir, ada Agung Dwi Sandi dari KOL.ID yang nyempil di antara diskusi berat dan membahas topik yang nggak kalah penting yaitu branding influencer. AI, katanya, dipakai buat membaca tren, mengatur strategi konten, bahkan tahu jam berapa sebaiknya kamu ngepost biar engagement naik.
Kamu mungkin pikir, “Masa iya sih AI bisa ngerti perasaan audiens?” Nah, justru itu poinnya. Kadang AI lebih peka dari mantanmu sendiri.
Agung bilang, teknologi mereka bantuin brand buat nemuin Key Opinion Leaders yang pas. Mulai dari yang follower-nya segede artis, sampai yang cuma 10k tapi niche banget, misalnya “pecinta taneman hias yang juga suka coding.”
Diskusi yang difasilitasi UBSI Sebagai Kampus Digital Kreatif ini nggak cuma bikin peserta mikir, tapi juga sedikit was-was. Soalnya, AI yang dulu cuma ada di film sci-fi, sekarang udah bantu ngatur skor kredit, strategi pemasaran, bahkan impian kuliah. Apakah kita sedang terbantu, atau perlahan digantikan?
Tapi di situlah renungannya. Teknologi, termasuk AI, sebenarnya netral. Ia bisa jadi penyelamat atau penjajah, tergantung siapa yang pegang kemudinya. Dan di tengah tantangan ekonomi digital, seharusnya manusialah yang tetap jadi kapten. AI? Cukup jadi kompas, bukan nahkoda.
0 Komentar